Suatu saat, seorang akhwat bertanya kepada saya. Pertanyaannya sederhana,�akan tetapi tidak mudah bagi saya untuk dengan tepat menjawabnya. Saat itu�akhwat kita ini mengajukan pertanyaan retoris, pertanyaan yang�seolah-olah tidak membutuhkan jawaban, akan tetapi sekarang saya bisa�merasakan bahwa ada hal yang diam-diam menjadi masalah.
Saya bisa merasakan,�ada sesuatu yang sedang berlangsung namun tidak banyak terungkap karena�berbagai sebab. Ketika itu, akhwat tersebut mengajukan pertanyaan yang pada�intinya adalah:
“Apa yang menghalangi ikhwan-ikhwan itu meminang seorang�akhwat? Mengapa�ikhwan banyak yang egois, hanya memikirkan dirinya�sendiri?”
“Sesungguhnya,” kata akhwat tersebut,
“banyak akhwat yang�siap.”
Akhwat itu bertanya bukan untuk dirinya. Telah beberapa bulan ia�menikah.�Ketika mempertanyakan masalah itu kepada saya, ia didampingi suaminya.
Ia�bertanya untuk mewakili “suara hati” (barangkali demikian) akhwat-akhwat�lain yang belum menikah. Sementara usia semakin bertambah, ada kegelisahan�dan kadang-kadang kekhawatiran kalau mereka justru dinikahkan oleh orangtuanya�dengan laki-laki yang tidak baik agamanya.�Pertanyaan akhwat itu serupa dengan�pertanyaan Rasulullah al-ma’shum.
Beliau yang mulia pernah bertanya, “Apa yang menghalangi seorang mukmin�untuk mempersunting istri? Mudah-mudahan Allah mengaruniainya keturunan yang�memberi bobot kepada bumi dengan kalimat Laa Ilaaha Illallah.”
Apa yang�menghalangi kita untuk menikah? Kenapa kita merasa berat untuk�meminang seorang akhwat secara baik-baik dengan mendatangi keluarganya? Apa�yang menyebabkan sebagian dari kita merasa terhalang langkahnya untuk�mempersunting seorang gadis muslimah yang baik-baik sebagai istri, sementara�keinginan ke arah sana seringkali sudah terlontarkan. Sementara kekhawatiran�jatuh kepada maksiat sudah mulai menguat.
Sementara ketika “maksiat-maksiat�kecil” (atau yang kita anggap kecil) sempat berlangsung, ada kecemasan�kalau-kalau keterlambatan menikah membuat kita jatuh kepada maksiat yang�lebih besar. Saya teringat kepada burdah, syair karya Al-Bushiri. Di dalamnya�ada beberapa bait sindiran mengenai saya dan Anda:
Siapakah itu yang sanggup�kendalikan hawa nafsu seperti kuda liar yang dikekang temali kuat?
Jangan kau�berangan dengan maksiat nafsu dikalahkan maksiat itu makanan yang bikin nafsu�buas dan kejam
Sungguh, hampir saja kaki kita tergelincir kepada�maksiat-maksiat besar kalau�Allah tidak menyelamatkan kita. Dan kita bisa benar-benar memasukinya�(na’udzubillahi min dzalik tsumma na’udzubillahi min dzalik) kalau kita�tidak segera meniatkan untuk menjaga kesucian kemaluan kita dengan menikah.
Awalnya menumbuhkan niat yang sungguh-sungguh untuk suatu saat menghalalkan�pandangan mata dengan akad nikah yang sah. Mudah-mudahan Allah menolong kita�dan tidak mematikan kita dalam keadaan masih membujang.Rasulullah Muhammad�SAW. pernah mengingatkan: “Orang meninggal di antara�kalian yang berada dalam kehinaan adalah bujangan.”
Rasulullah Saw. juga�mengingatkan bahwa, “Sebagian besar penghuni neraka�adalah orang-orang bujangan.”
Seorang laki-laki yang membujang harus�menanggung beban syahwat yang sangat�berat. Apalagi pada masa seperti sekarang ini ketika hampir segala hal�memanfaatkan gejolak syahwat untuk mencapai keinginan. Perusahaan-perusahaan�obat memanfaatkan gambar-gambar wanita untuk menarik pembeli.
Perusahaan-perusaan rokok juga memanfaatkan gadis-gadis muda yang seronok�untuk mempromosikan rokoknya di stasiun-stasiun dengan merelakan diri�mengambilkan sebatang rokok sekaligus menyalakan apinya ke laki-laki yang�sedang lengah ataupun sengaja “melengahkan” diri. Saya pernah menyaksikan�kejadian semacam ini di stasiun Tugu, Yogyakarta sekitar bulan Juli tahun�1996 yang lalu.
Tidak sekedar sampai di situ, acara-acara TV, radio bahkan�artikel-artikel�kesehatan dan olahraga di koran dimanfaatkan untuk mengekspos rangsang�pornografis demi meningkatkan oplah. Kadang malah acara-acara keislaman yang�diselenggarakan organisasi keislaman, tanpa sadar tergelincir untuk untuk�ikut memanfaatkan hal-hal semacam ini lantaran ikut-ikutan dengan prosedur protokoler di TV.�Maka, tak semua dapat menahan pikiran dan angan-angannya.
Saya sering�mendengarkan “keluhan” teman laki-laki yang seusia dengan saya mengenai�pikiran-pikiran dan angan-angan mereka tentang pernikahan atau mengenai�harapannya terhadap seorang gadis.
Dorongan-dorongan alamiah untuk mempunyai�teman hidup yang khusus ini telah menyita konsentrasi. Daya serap terhadap�ilmu tidak tajam. Apalagi untuk shalat, sulit merasakan kekhusyukan. Ketika�mengucapkan Iyya Kana’budu Wa Iyya Ka Nasta’in yang muncul bukan kesadaran�mengenai kebesaran Allah yang patut disembah, melainkan bayangan-bayangan�kalau suatu saat telah menikah.
Malah, sebagian membayangkan�pertemuan-pertemuan. Shalat orang yang masih belum menikah memang sulit�mencapai kekhusyukan,�apalagi memberi bekas dalam akhlak sehari-hari. Barangkali itu sebabnya�Rasulullah Muhammad Saw. menyatakan, “Shalat dua rakaat yang didirikan oleh�orang yang menikah lebih baik dari shalat malam dan berpuasa pada siang�harinya yang dilakukan oleh seorang lelaki bujangan.”
Maka, bagaimana�seorang yang masih membujang dapat mengejar derajat�orang-orang yang sudah menikah, kalau shalat malam yang disertai puasa di�siang hari saja tak bisa disejajarkan dengan derajat shalat dua rakaat mereka�yang telah didampingi istri. Padahal mereka yang telah mencapai ketenangan�batin, penyejuk mata dan ketenteraman jiwa dengan seorang istri yang sangat�besar cintanya, bisa jadi melakukan shalat sunnah yang jauh lebih banyak�dibandingkan yang belum menikah.
Maka, apa yang bisa mengangkat seorangbujangan kepada kemuliaan di akhirat?
Alhasil, membujang rasanya lebih dekat dengan kehinaan, sekalipun jenggot�yang lebat telah membungkus kefasihan mengucapkan dalil-dalil suci�Al-Qur’an dan Al-Hadis. Benarlah apa yang disabdakan oleh Rasulullah,�”Orang meninggal di antara kalian yang berada dalam kehinaan adalah�bujangan.”
Bujangan. Tanpa seorang pendamping yang dapat membantunya�bertakwa kepada�Allah, hati dapat terombang-ambing oleh gharizah (instink) untuk memenuhi�panggilan biologis, oleh kerinduan untuk mempunyai sahabat khusus yang hanya�kepadanya kita bisa menceritakan sisi-sisi hati yang paling sakral, serta�oleh panjangnya angan-angan yang sulit sekali memangkasnya.
Dalam keadaan�demikian, agaknya sedikit sekali yang sempat merasakan khusyuknya shalat dan�tenangnya hati karena zikir. Dalam keadaan demikian, kita bisa disibukkan�oleh maksiat yang terus-menerus. Sesekali dapat melepaskan diri dari maksiat�memandang wanita ajnabi (bukan muhrim), tetapi masuk kepada maksiat lainnya.
Pikiran disibukkan oleh hal-hal yang kurang maslahat, sedang mulut�mengucapkan kalimat-kalimat yang memiriskan hati. Di saat seperti ini, kita�dapat merenungkan sekali lagi peringatan Rasulullah�Muhammad yang terjaga. Dalam sebuah hadis yang berasal dari Abu Dzar r.a.,�Rasulullah Saw. menegaskan:
“Orang yang paling buruk di antara kalian ialah�yang melajang (membujang),�dan seburuk-buruk mayat (di antara) kalian ialah yang melajang�(membujang).”�(HR Imam Ahmad dalam Musnadnya, diriwayatkan�juga oleh Abu�Ya’la dari�Athiyyah bin Yasar. Hadis ini dha’if, begitu ‘Abdul Hakim ‘Abdats�menjelaskan).
Semoga Allah ‘Azza wa Jalla melindungi kita dari kematian�dalam keadaan�membujang, sementara niat yang sungguh-sungguh untuk segera melangsungkan�pernikahan, belum tumbuh. Semoga Allah Swt. menolong mereka yang telah�mempunyai niat. Kalau belum lurus niatnya, mudah-mudahan Allah mensucikan�niat dan prasangkanya. Kalau telah kuat tekadnya (‘azzam), semoga Allah�menyegerakan terlaksananya pernikahan yang barakah dan dipenuhi ridha-Nya.
Kalau mereka masih terhalang, mudah-mudahan Allah melapangkan dan kelak�memberikan keturunan yang memberi bobot kepada bumi dengan kalimat laa ilaha�illaLlah.Saya teringat, terhadap hal-hal yang sangat dikecam dan diberikan�peringatan�mengenai bahayanya, biasanya Islam memberikan penghormatan yang tinggi untuk�hal-hal yang merupakan kebalikannya. Kalau membujang sangat tidak disukai,�kita mendapati bahwa menikah mendekatkan manusia kepada surga-Nya.
Ketika�dikabarkan kepada kita bahwa kebanyakan penghuni neraka adalah bujangan, kita�banyak mendapati di dalam hadis tentang kemuliaan akhirat dan bahkan�keindahan hidup di dunia yang insya-Allah akan didapatkan melalui�pernikahan.Seorang yang menikah, berarti menyelamatkan setengah dari�agamanya. Bahkan,�bagi seorang remaja, menikah berarti menyelamatkan dua pertiga dari agamanya.
Kita menjumpai hadis yang memberikan pertanyaan retoris sebagai sindiran,�”Apa yang menghalangi seorang mukmin untuk mempersunting istri?�Mudah-mudahan Allah mengaruniainya keturunan yang memberi bobot kepada bumi�dengan kalimat laa ilaha illaLlah.”
Maka kita juga menjumpai hadis-hadis�yang menjaminkan kepada kita yang ingin menikah demi menjaga kehormatan dan�kesucian farjinya.Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah Saw. bersabda,
“Tiga�orang yang akan�selalu diberi pertolongan oleh Allah adalah seorang mujahid yang selalu�memperjuangkan agama Allah Swt., seorang penulis yang selalu memberi penawar,�dan seorang yang menikah untuk menjaga kehormatannya.” (HR. Thabrani)
Dalam�hadis lain dalam derajat shahih, Rasulullah Saw. bersabda:
“Tiga golongan�orang yang pasti mendapat pertolongan Allah, yaitu budak�mukatab yang bermaksud untuk melunasi perjanjiannya, orang yang menikah�dengan maksud memelihara kehormatannya, dan orang yang berjihad di jalan�Allah.” (HR Turmudzi, An-Nasa’i, Al-Hakim dan Daruquthni).
Masih ada hadis�senada. Namun demikian, ada baiknya kalau kita alihkan�perhatian sejenak kepada peringatan yang disampaikan oleh Rasulullah,
“Bukan termasuk golonganku orang yang merasa khawatir akan terkungkung�hidupnya karena menikah kemudian ia tidak menikah.” (HR�Thabrani).
Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang memiliki keyakinan.�Tanpa�keyakinan, ilmu akan kosong maknanya.