Malam-malam ga bisa tidur eh kepikiran sebuah paradigma yang selama ini di tujukan ke bagian IT. Apapun namanya entah itu Information Technology, Elektronik Data Processing, Management Information System, Informasi Komunikasi atau lainnya paradigma yang dipasang tetap sama yaitu sebagai sebuah Cost Center. Paradigma ini tidak sepenuhnya salah, karena bisa saja selama ini departemen, bagian, divisi atau nama lain hanya berfungsi sebagai divisi perbaikan (saya bingung cari kata yang tepat :p ). Padahal divisi ini juga memiliki peran penting selain sebagai divisi perbaikan.
Sedikit cerita, satu tahun sebelum saya resign dari perusahaan tempat saya bekerja, manajer saya membuat satu gebrakan. Beliau merasa perlu merubah imej divisi IT dari divisi sebagai Cost Center, juga bisa memberikan kontribusi dalam hal Profit. Manajer saya ini, punya satu pemikiran kalau staf divisi IT diberikan kewenangan lebih dalam hal ber-improvisasi, akan ada hal positif dari keunggulan IT yang bisa digunakan untuk menghasilkan profit.
Hal pertama yang beliau lakukan adalah mengevaluasi struktur dan fungsi stafnya. Dari hanya dua bagian, yaitu Technical Support & Programmer (maklum perusahaan saya bekerja bukan perusahaan besar), beliau memecah menjadi beberapa bagian lagi. Semuanya dilakukan untuk membuat satu pola kerja dan metode baru sehingga mimpinya merubah divisi IT bisa juga menjadi profit center. Staf IT yang tadinya hanya 4 orang, langsung menjadi 2 kali lipatnya. Dibentuklah bagian System Administrator, Programmer, Graphic Design, Technical Support. Semua menangani issue yang hanya berkaitan dengan bagiannya (sebelumnya all in one, apapun issuenya staf dituntut bisa menyelesaikan masalahnya).
Berikutnya setelah selesai dengan urusan internal divisi, beliau melakukan evaluasi sistem secara menyeluruh. Mulai topologi jaringan, sampai ke sistem yang terintegrasi. Semua perbaikan dan upgrade sistem memerlukan waktu sampai 8 bulan. Selesai dengan itu dimulailah transformasi dari Cost Center menjadi salah satu divisi yang juga menghasilkan profit. Beliau membentuk satu bagian bayangan -saya menyebutnya demikian karena tidak resmi- bagian ini membuat dan merancang sistem bagaimana cara divisi IT juga bisa menjadi profit, kebetulan saya masuk di dalamnya. Website perusahaan yang tadinya statis, mulai dirubah menjadi dinamis, dibuat sebuah call center & tim customer support sendiri, sampai pada tahap akhirnya adalah sebuah e-commerce perusahaan yang terintegrasi dengan bagian marketing lengkap dengan ERP-nya.
Saya ceritakan hal ini sebagai sedikit gambaran (dalam bentuk e-commerce) kalau sebenarnya divisi/departemen IT bisa juga menjadi profit center. Namun, itu hanya bagian kecil dari sebuah transformasi divisi IT menjadi bagian dari divisi yang menjadi profit. Dalam pandangan saya, e-commerce merupakan satu cara mudah bagi manajer saya saat itu melakukan pengukuran sumbangan profit ke perusahaan. Perubahan website perusahaan dari statis menjadi dinamis, paling tidak membuat informasi perusahaan menjadi lebih mengalir, terbuka. Dengan demikian customer merasa lebih dekat, investor pun mendapat info yang lebih lengkap. Hal ini akan meningkatkan brand awareness masyarakat terhadap produk perusahaan. Peningkatan brand awareness tentunya akan disertai dengan peningkatan penjualan produk, –ceteris paribus– meminjam istilah ekonomi yang artinya dengan asumsi tidak ada perubahan berarti terhadap peningkatan brand awareness. Tidak hanya dalam hal penjualan,brand awareness yang tinggi (jika disertai strategi yang tepat) akan membuka peluang membuat margin keuntungan produk lebih besar. Contoh sederhana brand awareness yang kuat adalah produk air mineral. Apapun merk air mineral, saat membeli di warung, yang ditanyakan adalah “Ada Aqua bu?”. Contoh lainnya ada pada produk mie instan, pasta gigi, dan beberapa produk lainnya.
Itu dalam scope perusahaan yang nota bene mempunyai sebuah produk yang dijual, lalu apakah juga bisa menjadi profit untuk organisasi non-profit atau pribadi? Jawabnya bisa. Saya, pernah ikut membantu kawan di sebuah organisasi nirlaba dimana roda pergerakan organisasi sangat bergantung pada donatur. Saat saya diminta menjadi bagian dari alumni tersebut, saya mengajak organisasi ini mulai memikirkan sebuah kegiatan yang menngkatkan kesadaran masyarakat terhadap kehadiran mereka. Saat itu, saya minta mereka mulai membuat website -masih satu hal yang belum familiar saat itu-. Singkatnya, dari sana mereka mulai bergerak dan akhirnya sekarang website mereka bukan hanya berfungsi sebagai alat menyebarkan informasi, dari sana mereka juga bisa memperoleh masukan dalam bentuk iklan.
Jadi, dalam pandangan saya IT tidak melulu menjadi cost center, bisa juga menjadi penyumbang profit tergantung strategi yang digunakan. Mungkin ini sedikit opini saya yang masih sangat dangkal, namanya juga cuma pelajar. 😀