Menulis memang sudah menjadi kesukaan saya sejak kecil. Sebenarnya saya adalah pribadi introvert, jadi bercerita hanya dengan hati. Sampai suatu ketika, seorang saudara menghadiahkan buku diary yang sangat bagus pada ulang tahun ke 6 saya. Untuk jadi teman mu saat sendiri. Tuliskan apa yang ada di hati mu, pesan singkatnya kala itu.
Satu diary penuh, dua penuh, tiga, empat dan seterusnya. Saya mulai kerepotan menyimpan diary tersebut, agar tidak ada yang membaca, saya membakar setiap diary yang sudah penuh. Saya tidak suka tulisan saya dibaca orang lain.
Pada saat SMA saya mulai berkenalan dengan jurnalistik. Ketertarikan kuat tak bisa ditahan. Sayangnya, saya tak sanggup bergaul dengan anak-anak jurnalistik yang notabene orang-orang kaya. Saya menarik diri dan beranggapan dunia kepenulisan bukan untuk orang kampung seperti saya. Saya mulai melupakan hobby agar tidak terus melukai hati. Belajar mengalihkan perhatian pada kegiatan yang positif. Berusaha melupakan cita-cita menjadi penulis gelap (dengan nama samaran).
Fase kehidupan menjadi remaja beralih sudah. Menapakkan kaki menjadi mahasiswa. Keinginan belajar menulis pun kembali memggelitik di relung hati. Akhirnya saya masuk kelompok jurnalistik kampus, tapi hanya bertahan 6 bulan. Tak sanggup berkejaran dengan deadline. Selain itu, ada masalah yang sangat krusial. Lagi dan lagi, uang jadi penghalang hobby. Ya sudah….masih banyak jalan menuju Roma. Tak berputus asa, saya terus menulis dimana saja dan kapan saja. Tapi, saya selalu memusnahkan tulisan itu. Jika dipikir sekarang, mengapa harus dimusnahkan? Bisa bermanfaat untuk konsumsi sendiri atau dipublikasikan.
Setelah jaman digital masuk, saya mulai menulis dan mem’password’ tulisan saya di file komputer. Nah, lebih aman sepertinya. Sayangnya, saya seorang pelupa. Tulisan itu semua terpaksa saya delete, karena lupa password. Huft, saya masih terus belajar bersahabat dengan tulisan-tulisan saya. Bagaimana mengamankan mereka agar tidak menjadi konsumsi umum. Sebagian besar tulisan saya tentang apa yang saya alami dan rasakan. Saya tidak suka berbagi kisah pribadi pada orang lain. Saya sangat pelit, karena ini adalah masalah privasi menurut saya. Saya akan marah jika ada yang coba mengusik hal pribadi.
Tulisan masih menjadi sahabat terbaik saya. Kapanpun, dimana pun selalu ada. Seperti saat sekarang saya sedang sendiri mengawas UNBK, saya isi dengan bercengkerama santai dengan tulisan. Hal yang sangat menyenangkan bisa bersantai sambil bekerja seperti ini. Mengingat aktifitas saya sebagai ibu rumah tangga dengan tiga amanah yang masih kecil-kecil dan seorang pendidik anak remaja menuju dewasa. Bejibun rutinitas membuat saya tidak ada “me time”. Menulis menjadi sangat nikmat, seperti menghirup secangkir coklat panas di sebuah villa kawasan pegunungan.
Saya terus belajar bersahabat dengan tulisan. Sampai saya menemukan informasi di sebuah group guru menulis. Wow, tantangan baru. Saya baru berpikir, tulisan ini bisa lebih bermanfaat, tidak harus berakhir di tong sampah. Saat nya saya mengasah otak, menyalurkan hobby sambil bekerja. Saya pun mendaftar dan dengan semangat mulai mengikuti panduan memulai menulis.
Huft, ternyata menulis buku tak semudah mencurahkan isi hati. Bercerita sesuatu yang akan menjadi konsumsi umum, harus banyak pertimbangan. Terlebih lagi ini masalah penyaluran ilmu pengetahuan. Tak bisa sembarangan ditulis tanpa referensi. Kembali saya harus belajar bersahabat dengan tulisan. Bahkan sekarang saya harus menerima sahabat baru, yaitu deadline. Saya merasa tidak mampu mengejar deadline dengan kesibukan saya sekarang. Setiap malam saya melihat kalender di handphone saya. Diiringi dengan degupan jantung yang berpacu kencang. Apa daya badan tak sanggup lagi mengurai kata. Jiwa berkelana ingin mulai merangkai kata demi kata, tapi jari jemari tak sinkron dengan maunya hati.
Menyerah….kata itu tidak ada dalam kamus hidup saya. Lelah harus diusir, gundah ditepis segera. Mulai…itu kata yang terus saya camkan dipikiran. Semangat memulai, belajar meningkatkan kualitas diri. Belajar berbagi manfaat. Semoga saya bisa, saya harus bisa. Selalu belajar bersahabat dengan tulisan yang lebih berkualitas. Menanjak memang sulit, tapi jika sudah di puncak semua akan terkenang indah. Semiga bisa tersenyum indah menikmati puncak dengan semilir angin senja.
11 April 2018, hari ketiga UNBK