Saat seperti ini paling tidak nyaman untuk saya dan anak-anak. Walaupun hampir setiap hari saya pergi keluar rumah dan menitipkan mereka pada ayah dan nenek nya. Mereka selalu menunggu saya di depan pintu rumah tiap sore tiba. Sore menjadi momen kebahagiaan kami bisa kembali beraktifitas bersama. Si Aa’ yang sudah masuk sekolah dasar juga sudah jarang beraktifitas bersama saya. Sorenya dipenuhi dengan aktifitas di masjid dekat rumah, sampai Maghrib. Pulang sebentar untuk makan malam, lalu kembali ke masjid untuk isya berjamaah. Semoga selalu menjadi anak Sholeh ya sayang…
Sore ini akan berbeda. Saya tak bisa menemui mereka disenja ini. Tugas luar kota memberatkan hati, tapi hatus dijalankan. Baru setengah perjalanan, rindu sudah tak tertahan. Ingin segera pulang memeluk aa’, teteh dan Dede’. Lindungi mereka selalu ya Allah.
Teringat banyak dosa sama mereka. Melewatkan masa-masa keemasan perkembangan mereka, tanpa kehadiran saya sebagai ibu yang seutuhnya. Bagaimana mereka bisa paham cinta yang berbalut amarah? Seringkali kegagalan saya berwujud ledakan emosi pada mereka. Padahal ekspresi rasa bersalah saya yang tak terkendali. Sayang tak hingga membuat saya terlalu banyak tuntutan pada mereka. Mereka masih sangat kecil, harusnya saya ada di tengah mereka, menemani setiap detik yang dikaruniakan pada kami. Merangkai kisah bersama, dari bangun tidur sampai kembali tidur. Ingin sekali melakukan semua itu, tapi tak berdaya. Andai punya sedikit keberanian untuk mendobrak aturan, mungkin saya bisa melakukan semuanya.
Maafkan ibu, nak….ibu telah merampas semua kebahagiaan masa kecil kalian. Kalian harus merasakan lelahnya berjuang di usia sekecil ini.