Hujan di luar jendela bermakna beda kali ini. Begitu syahdu memecah keheningan alam yang tak terganggu. Bulir-bulir hujan beriringan memanjakan rumput yang menghampar hijau. Entah mengapa rintiknya menyentuh kalbu yang merindu. Ini tahun ke-7 tanpa hadir mu, cahaya hidupku. Rindu ini semakin menyiksa kala ku tersadar, tak hanya ruang dan waktu yang memisahkan kita, tapi kini selat sunda menghalangi langkah ku menelusuri kenangan-kenangan bersama mu.

Sore begini kau seringkali mengajak ku ke sawah melihat padi kita yang sedang menguning. Menyapa para saudara yang sedang asyik bersenda gurau dengan lumpur dan bulir padi. Sekedar bercengkerama sambil menikmati singkong dan pisang rebus di pondok repot sawah kita. Sambil minum air kelapa muda di sebelah pondok kita. Anak sungai kecil di sebelah pondok mengalir lembut seakan menyenandungkan irama alam mengikuti alunan senja.

Gemericik air hujan makin membangkitkan kenangan bersamamu. Seringkali kau sengaja ajak aku kecil menelusuri jalanan berlumpur pematang sawah, menyapa gerimis kecil di sore ujung desa. Tak lupa kau selipkan nasehat sambil mengajarkan ku menghargai jerih payah si padi sampai menjadi nasi. Kau pun selalu ajak aku berjalan kaki sampai rumah kita. Walaupun banyak orang yang berkendara menawarkan jasa tumpangan. Maklum, hidup di kampung yang masih lekat adat ketimurannya. Saling tolong menolong itu sebuah keharusan, mau kenal ataupun tidak. Saat kaki kecil ku lelah karena jarak yang lumayan jauh, melewati dua desa, kau selalu menghiburku dengan menceritakan masa lalu mu yang tak begitu manis. Perjuangan bertahan hidup dengan keadaan yang tak berpihak. Kamu sangat beruntung, nak. Itu yang selalu kau katakan di akhir cerita perjalanan mu. Tapi, tak pernah aku dengar cerita, kau menyalahkan takdir. Jiwa mu yang besar dan maaf mu yang luas, semoga menjadi pahala yang akan selalu melapangkan kubur mu. Kasih sayang mu yang tak berbatas, semoga Allah membalasnya dengan syurga terbaikNya. Aamiin.

Mentertawakan lelucon jenaka yang sengaja kau karang untuk ku, menjadi terindah untuk dikenang. Tak jarang juga kau ajak aku singgah bersilaturahmi dengan handai taulan di sepanjang perjalanan pulang kita.

Pernah satu ketika, aku mendapati mu tak diperlakukan baik saat bersilaturahmi. Aku marah, tapi kau hanya tersenyum. Biarkan mereka marah, kita tak perlu marah. Mereka tetap saudara kita. Ujar mu di senja itu. Aku tak mengerti maksud mu kala itu, tapi memori itu menyelinap kuat diingatan ku. Silaturahmi itu membawa rejeki, nak….kamu jadi kenal dengan keluarga besar. Tak boleh pilah pilih saudara, semua sama, manusia. Terlepas bagaimana mereka bersikap. Itu selalu nasehatmu pada ku.

Senyum mu yang selalu menghiasi wajah mengingatkan ku pada akhlak rasulullah yang selalu kau ceritakan pada kami berlima menjelang tidur. Penuh lemah lembut, kau mengajarkan kami sabar dan ikhlas. Jalani hidup dengan bahagia, tanpa banyak mengeluh. Rahasia Allah tak perlu ditanya, pasti indah yang tercipta.

Setiap aku meminta sesuatu, kau selalu ajarkan aku untuk berusaha. Masih tertancap jelas di memori ku, beberapakali aku harus turun ke sawah saat libur sekolah. Membantu menanam padi, membersihkan rumput di sela padi dan pematang sawah, memanen padi dan mengangkutnya bersama ke rumah kita. Baru aku boleh minta di belikan sepatu baru.

Sampai aku kuliah kau masih sering mengajak ku ke sawah menemani mu mengantarkan bekal buat saudara yang membantu di sawah. Kita tidak lagi berjalan kaki. Kita berdua naik motor tua yang suara knalpotnya “cempreng” memecah telinga. Kau masih tetap menyapa setiap orang yang ditemui di pinggir jalan. Walaupun suara mu kalah oleh suara deru motor itu. Aku merindukan mu, emak….

Waktu aku tidak mau melanjutkan kuliah, karena melihat kondisi perekonomian keluarga kita. Kau ajak aku melihat kejamnya hidup tanpa ilmu di kepala. Pagi buta kau bangunkan aku, lalu Kita berdua naik tebing berkarang menuju kebun cabe yang kau tanam bersama nenek. Sekitar satu setengah jam berjalan kaki. Lumayan seru….panen cabe dimulai. Beberapa kali aku tergelincir dan keranjang cabe pun berantakan. Kaki ku membiru di sana sini, berciuman dengan batu karang yang bertebaran tak beraturan. Kau hanya tersenyum menatap ku dari kejauhan.

Sunset sore itu tak seindah biasanya. Tertutupi semua siluet senja oleh kelelahan hati dan raga ku. Memikirkan perjalanan menuju rumah yang akan menyita semua sisa tenaga ku, membuat ku tak bisa menikmati sunset di sudut pematang karang. Tak sepatah katapun yang kau keluarkan untuk mengusir lelah ku, hanya senyum yang selalu kau lempar penuh kebahagiaan. Hati kecil ku marah dan tak terima. Baru kini ku sadar, itu cara mu mengajarkan ku makna hidup. Kau pecut semangat ku dengan keadaan itu. Mungkin lidah mu tak sanggup memarahi ku. Kau pun tak mampu merangkai kata-kata untuk memotivasi ku. Aku pahami kebingungan mu. Kondisi keuangan keluarga kita memang tidak mendukung untuk ku mencapai cita. Tapi kau tak pernah kehabisan cara. Meskipun pendidikan mu hanya sekolah rakyat (SD jaman dulu), pikiran mu melebihi seorang sarjana. Kau ajak aku berpikir dan merasakan sendiri kerasnya hidup tanpa pendidikan.

Aku lebih terbelalak lagi saat kau bawa aku ke pasar mingguan dekat rumah untuk menjual hasil panen cabe kita kemarin itu. Wow, hanya dapat uang 50 ribu. Setelah kau uraikan modal bibit dan pupuk yang digunakan sebelumnya, hati ku lebih teriris lagi, selisihnya hanya 10 ribu. Subhanallah, berapa harga keringatnya? Menunggu berbulan-bulan hanya untuk nilai yang tak seberapa. Sangat tidak sebanding. Kejamnya keadaan untuk jiwa-jiwa yang lemah tak berdaya. Tak bisakah kau tingkatkan lebih tinggi harga hasil panen petani itu? Mereka tak pernah berpikir untuk korupsi uang negara lho….hanya memenuhi kebutuhan hidup yang tak bisa di bilang layak.

Begitulah cara mu menjelaskan pada ku apa harapan mu pada kami, anak-anak mu. Tak ada harta warisan yang bisa kami bagikan untuk kalian. Tuntutlah ilmu sekuat dan semampu kalian sebagai bekal masa depan kalian. Jika kalian tak kuat menahan pahitnya belajar, maka bersiaplah menelan pahitnya hidup, nasehat mu ini sebagai cambuk kala lelah menerpa masa-masa sekolah dan kuliah. Pahit memang, tapi harus mampu diselesaikan.

#duaperempuan terindah

Mari diskusi

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.