Ini hanya sekelumit kisah, tak berarti mewakili semuanya. Pagi buta bersiap dengan rutinitas perdapuran. Menyiapkan sarapan untuk anak dan suami tersayang, walau kadang tak tersentuh sampai dia pulang. Bersiap menggiling cucian pakaian atau mengeksekusi piring sisa makan semalam. Sambil lirak lirik jam dinding yang berdenting mengejek. Mengandalkan multitasking agar selesai bersamaan semua rutinitas perdapuran.

Tak terasa adzan subuh memanggil dengan sendu. Berlari ke kamar membangunkan buah hati, si kecil dan kekasih hati, si besar yang tak kalah manja nya. Mereka masih pulas dengan mimpi indah. Sekali dua kali tak berarti langsung di mengerti. Bantal dan selimut masih sangat melenakan. Jika ketiga kali tak kunjung bangun, terpaksa suara memekakkan telinga dengan omelan yang sama setiap harinya. kadang terbersit ide untuk merekam, sehingga cukup memutar ulang kala pagi datang. Teringat kata petuah dari ibunda dulu, Anak ku sayang… lebih baik menempuh dinginnya udara subuh, daripada disapu panasnya api neraka. Sambut berkah subuh hari ini dengan penuh cinta. Jika ayam berkokok, bersiaplah bangun atau rejeki mu keburu dipatok ayam.

Melihat matahari sudah mulai mengintip menjadi alarm berakhirnya rutinitas perdapuran. Segera mandi dan menyiapkan keperluan sekolah si kecil. Membujuk si kecil dengan berbagai rayuan maut yang jauh dari romantis, agar tak merengek saat di titipkan nanti. Si sulung sudah siap dengan seragam sekolah dan sepeda nya. Beruntung si sulung sudah sedikit mandiri, sarapan, berangkat sekolah, lalu menyiapkan keperluan ngaji sendiri di sore hari. Terselip rasa bersalah saat melihat anak dewasa di usia belia nya. Maafkan ibu mu yang lebih lama diluar daripada menemani mu di rumah.

Tapi pilu tak bisa dipelihara. Langkah harus segera dipaksa. Menitipkan dua anak balita pada keluarga, lalu segera menunaikan tugas negara. Dilema tak berkesudah, tapi beginilah kisah berbicara. Pukul 7 pagi harus segera absensi sidik jari. Menatap nanar ke lapangan sekolah, terbayang si kecil yang tadi mengantar dengan canda. Tak lagi tangis yang bercerita, karena sudah terlalu biasa. Pagi mereka pun berlalu dengan sejuta cerita tanpa saya.

Rutinitas pun bermula ditempat kerja. Mencoba melupakan sejenak pekerjaan dan amanah dirumah. Sibuk dengan generasi titipan negara yang mendamba cita dan cinta. Pendidikan anak bangsa jadi fokus utama. Sisi hati bertanya, apa kabar pendidikan anak saya di rumah? jika dari pagi sampai senja tak bersama ibunya. Dimana madrasah mereka? kala saya tak disana menemani mereka dalam masa keemasan. Ingin hati memaksa menemani jundi-jundi kecil penerus keturunan kami. Tapi, apa daya tangan tak sampai. Kebijakan para pengampu keputusan tak terasa bijak untuk saya. Tak mengapa, mencoba berpasrah diri dan menggantung harap semoga hati mereka selalu terbimbing menuju cahaya. Meluruskan kembali niat hati mengabdi pada ibu pertiwi. semoga berbalas pada anak-anak ku nanti.

Semua harus seiring sejalan, mencoba fokus pada suasana. Memaksa hati berada di sini, karena mereka pun amanah lain yang juga punya hak atas saya. Saat jenuh melanda, harus bisa mencairkan suasana. Supaya nyaman dalam bekerja. Tumpukan kertas dan alunan keyboard laptop menemani sepanjang hari. Berselang canda tawa dengan rekan kerja sekedar mengusir jenuh yang selalu menyapa. Rutinitas kerja berlalu tanpa banyak lagu.

Ketika sore menjelma, bersiap segera menemui ananda tercinta. Dengan sisa tenaga hari ini. Semoga bukan sisa cinta yang dibawa serta. Terbayang wajah lugu penuh cinta menyambut sumringah depan rumah. Tak sabar ingin segera memeluk dan berkisah. Mendengar seksama celoteh ceria khas mereka. Kepolosan tanya menambah perih rasa bersalah. Kadang airmata menetas tak terasa. Pelukan mungil melepas semua penat di tempat kerja. Cinta tak bersyarat yang mereka punya, bagai air hujan di musim kemarau. Sejuk, sendu, dan dirindu. Semoga Allah SWT selalu memelihara kalian semua, buah hati ibu tercinta. Sering tanya polos menyayat hati, mengapa ibu selalu bekerja? Lihat ibu teman saya selalu mengantar sampai pintu sekolah. Menjemput anaknya dengan penuh cinta. Ibu kemana? Mengapa harus kerja?

Nak, takdir mengisahkan nuansa beda dengan ibu mereka. Maafkan nak….ibu terpaksa tetap bekerja. Amanah kerja tak bisa direkayasa. Hanya doa yang melantun dalam derai air mata. Semoga kita tetap menjaga kebersamaan selamanya dalam cinta kasih ilahi. Sesekali kita bisa bersama ke sekolah mu dan ke tempat kerja ibu, saling menyemangati kala jemu. Allah menggariskan kisah dengan penuh makna. Kita pasti bisa menjalani peran dengan bijaksana. Jangan lupa mengawali setiap langkah dengan doa. Allah SWT pasti merencanakan kisah indah di jalan hidup kita. Cinta Ibu selalu untuk kalian bertiga. Jika suatu saat kalian menemukan tulisan ini, semoga kalian mengerti dilema ini dan bisa memaafkan ibu, nak.

Mari diskusi

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.