Takdir Allah selalu yang terbaik. Seperti halnya takdir jodoh, selalu mempertemukan pasangan yang dapat saling melengkapi. Seiring sejalan, walau kadang tak sepemikiran. Tapi selalu bisa saling memahami dengan hati. Pasangan itu saling melengkapi. Agar tercipta harmonisasi dalam langkah menuju ridho ilahi. Saling menyemangati dalam setiap hobi dan minat. Berkarya bersama dalam cita dan cinta. Namun tak jarang juga berdebat seru mempertahankan ego. Dan akhirnya cinta yang akan berbicara, melembutkan ego yang berkuasa.

Setiap hal yang tampak sempurna, pasti melewati berbagai ketidaksempurnaan. Banyak karya yang ku buat mengikuti emosi, terhidang alakadarnya tanpa irama. Lalu diolah dengan apik oleh tangan dingin pasangan hidup yang setia mendukung ku di belakang layar. Selalu dia yang mengoptimalisasi setiap karya yang ku buat mengikuti nafsu. Harus diakui, Aku memang keras kepala dalam banyak hal. Jika sudah berkata mau, itu sebisa mungkin harus tercapai. Tinggallah dia memikirkan bagaimana caranya yang sesuai syariat. Aku jarang sekali berpikir panjang, sedangkan dia selalu berpikir lama sebelum bertindak. Bahkan kadang lebih banyak diam mengamati tanpa tindakan. Aku yang selalu memaksanya untuk bergerak segera. Aku yang tanpa perhitungan matang, dia yang selalu penuh perhitungan. Bak sisi mata uang, yang berbeda namun selalu bersama.

Pastinya, setiap orang ingin hasil yang sempurna. Tak ada yang ingin menampakkan ketidaksempurnaan. Pasti hanya baik, bagus yang ditampilkan. Sehingga banyak yang lupa mengambil pelajaran dari setiap proses dengan ketidaksempurnaannya itu. Banyak orang memandang sebelah mata terhadap proses yang dijalani. Padahal sebenarnya proses itu yang kita butuhkan.

Buku D’Frenscor menjadi terbit dari ketidaksempurnaan. Belajar berani mempublikasikan karya pribadi. Kalau tidak boleh dibilang dipaksa mempublikasikan. Karena tangan dingin belahan jiwa. Tangan yang mengolah ketidaksempurnaan itu menjadi bermakna. Tangan itu juga yang menjadi perpanjangan tangan Tuhan membisikkan kepercayaan diri saya. Dan tangan itu pula yang selalu membelai lembut disaat aku kehilangan semangat.

Aku hanya pecundang yang tak berani berbuat banyak. Tapi dia yang selalu mendorong agar aku mampu melangkah. Karya ku tak tertata apalagi bermakna, jauh dari sempurna, dia yang merapikan dengan segala ketekunan. Saat ku tak terima cover dan lay out dari penerbit, secepat kilat dia membuatkan seperti apa yang ku inginkan. Tanpa perlu banyak komunikasi, tapi signal itu sampai lewat hati.

Belahan jiwa tak melulu soal internal rumah tangga. Banyak karya yang bisa kita kolaborasi kan dengan sepenuh jiwa. Baginda Rasul panutan kita mengajarkan bagaimana berjuang bersama dalam rumah tangga. Pencapaian besar berawal dari keluarga. Karya yang tak lekang oleh waktu adalah menulis. Belajar memaknai hidup lewat kata demi kata. Mengukir keabadian lewat tulisan. Semoga tetap semangat berkarya bersama belahan jiwa.

Salam literasi

Mari diskusi

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.